Anda Pengunjung

  • Aku pulang Bunda …


    Hari ini adalah hari kepulanganku kerumah. Sudah lama sekali aku tidak pulang karena kesibukannku kuliah di Bandung. Ingin rasanya aku memeluk Bunda setibanya nanti aku dirumah. Rasa rindu yang aku pendam selama sekian tahun tidak pulang membuatku ingin buru-buru sampai. Tapi jadwal bus yang akan ku naiki berangkat jam 14:00 siang, sedangnya sekarang jam baru menunjukan pukul 07:00 pagi. Aku terlalu bersemangat hingga membuatku tidak bisa tidur semalaman, rasa haru akan kepulanganku membuatku terjaga tadi malam.
    Seluruh keluargaku tahu bahwa hari ini aku akan pulang, Bunda tak henti-hentinya bertanya kapan aku akan sampai dirumah, apakah aku ingin dijemput atau apapun. Aku senang orang-orang dirumah begitu antusias menyambut kepulanganku seperti menyambut kedatangan tamu penting atau tamu kehormatan, apalagi adik-adikku yang tidak henti-hentinya menelfonku dan meminta oleh-oleh dariku. Sebenarnya tanpa mereka minta pun aku sudah menyiapkan banyak oleh-oleh untuk mereka.
    Pagi ini aku bingung apa yang harus aku lakukan untuk membunuh kebosananku pada kamar kecilku ini. Berkali-kali aku melihat jam tanganku, sepertinya waktu begitu lama seakan ingin mempermainkan hatiku yang sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sampai dirumah. Akupun kembali membuka koper besarku untuk mengecek barang bawaanku, ini sudah keempat kalinya aku bongkar kembali koperku, ya setidaknya aku tenang karena memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
    Oh Bunda, sudah sekian lama tidak ku lihar wajahmu, 2 tahun lalu terakhir aku melihat wajahmu, ketika itu kau sedang menangis karena tak tega melihatku berangkat sendiri. Mungkin Bandung memang tidak jauh, tapi untuk ukuran anak sepertiku, ini adalah kali pertama aku pergi jauh sendirian tanpa ada yang mengantar. Aku ingat saat itu batapa Bunda memelukku dengan sangat erat, semakin aku mencoba untuk melepaskan pelukannya tangisan Bunda semakin  menjadi-jadi. Aku hanya bisa berkata bahwa aku akan baik-baik saja disana, tak perlu Bunda khawatir karena Allah pasti akan selalu menjagaku. Saat itu Bunda mulai melepas tangannya dan membiarkan aku pergi menaiki bus yang sedari tadi mungkin sudah jenuh menungguku sambil menyaksikan adegan paling mengharukan bagiku.
    Aku tahu Bunda sangat ingin mengantarku, dia sangat ingin melihat dimana aku akan tinggal. Apakah tempat tinggalku nyaman atau tidak, apakah aku akan baik-baik saja disana dan segala tetek bengeknya. Tapi, keluarga kami bukan termasuk keluarga mampu yang bisa dengan senang hati mengeluarkan uang untuk kesana kesini. Aku ingat bunda sempat memaksa ikut denganku walaupun harus naik bus, dan aku tidak mengizinkannya karena aku tahu perjalananya lumayan jauh. Aku tahu Bunda sedang tidak sehat, aku takut bunda kecapean walapun di dalam hati aku sangat ingin seperti yang lain. Yaitu ketika semua orang tua dengan senang hati mengantar anaknya yang ingin menuntut ilmu jauh. Sesaat setelah bus berangkat aku hanya bisa menitikan air mata di kursi belakang, aku tak sanggup melihat wajah Bunda karena itu akan membuatku semakin sesak. ‘Aku akan belajar dengan serius untukmu Bunda, kan kubawa keluarga kecil kita pada kehidupan yang lebih baik’. Gumamku dalam hati.
                Tidak terasa lamunan itu membuatku kembali menitikan air mata. Sedih rasanya bila aku mengingat itu semua. Aku buru-buru menghapus air mataku, aku harus gembira karena hari ini aku akan pulang, harusnya tak ada lagi kesedihan, yang ada hanya rasa bahagia yang aku rasakan.
    Tepat jam 14:00 bus yang ku naiki mulai meluncur menuju tol Cipularang. Hawa panas yang tadi menyergap tubuhku kini mulai menghilang ketika ac bus dinyalakan. Sesekali aku melongok ke jendela untuk sekedar melihat jalan dan pemandangan. Aku tersenyum kecil, entah apa yang aku fikirkan, tapi yang pasti saat ini aku sangat bahagia. Tiga jam aku didalam bus, dan sampailah aku ditanah kelahiranku. Senang rasanya masih memiliki jodoh untuk kembali menginjakan kaki disini. Tidak ada yang berubah, hanya saja sekarang agak lebih ramai dari sebelumnya.
    Aku sengaja tidak memberitahukan keluarga bahwa aku sudah sampai diterminal. Aku hanya ingin pulang sendiri, dan aku hanya ingin mennjukan bahwa aku benar-benar sudah mandiri. Mungkin keluargaku sedang harap-harap cemas menantiku kabar dariku. Biarlah, aku masih ingin menikmati jodohku dengan tanah kelahiranku. Aku sempat melirik jam tanganku, pantas saja hari sudah mulai gelap, ternyata jam menunjukan pukul setengah enam sore. Aku buru-buru mencari taksi karena jam segini aku tahu tidak akan ada angkutan yang searah kerumahku. Cukup lama aku mencari berkeliling terminal dan akhirnya aku menemukannya.
    Rasa bahagia yang bergejolak di hatiku tidak bisa aku pendam, rasa rindu akan pelukan seorang ibu kepada anaknya sedang aku rasakan. Sesekali Bapak supir melirikku melalui kaca mobilnya, mungkin dia bingung dengan gelagatku yang sangat bersemangat hingga tanpa sadar aku terlihat seperti orang yang sedang gelisah. Sampai pada akhirnya Bapak supir itu memberanikan diri untuk bertanya padaku.
    “Baru pulang neng ?”
    “Iya Pak”. Kataku sambil tersenyum
    “Udah berapa lama neng gak pulang? kuliah apa kerja?”. Tanya Bapak supir lagi dengan penuh penasaran.
    “Hampir dua tahun, kuliah Pak”. Jawabku singkat.
                Setengah jam berlalu, aku pun sampai dirumah. Dari luar rumah begitu sepi, mungkin yang lain sedang mengaji seperti kebiasaan keluargaku dari dulu hingga saat ini, selalu mengaji setelah shalat magrib berjamaah.
    Aku mengucap salam dan langsung membuka pintu. Di ruang tamu juga tampak sepi. Dan aku meletakkan barang-barangku di atas kursi ruang tamu dan masuk ke ruang keluarga. Aku mendengar sayup-sayup sautan orang yang menjawab salamku, sepertinya dari arah kamar Bunda. Dengan  langkah cepat aku menuju kamar Bunda yang berada tepat di depan kamarku. Aku kaget ketika aku melihat Bunda sedang berbaring di kasurnya, adik-adik dan ayah berdiri mengelilingi Bunda dengan tatapan penuh gelisah, aku tidak mengerti apa sedang terjadi. Tiba-tiba Bunda mengangkat kedua tangannya seraya ingin memelukku, buru-buru aku mendekat untuk meraih tangannya, ku ciumi tangan dan kening Bunda dengan penuh kasih. Tak kuat aku membendung rasa haru yang aku rasakan, wajah Bunda pucat, tapi aku masih belum berani bertanya apa yang terjadi. Bunda tersenyum kepadaku dan aku pun membalas dan tersenyum padanya.
    “Kenapa tidak minta jemput?”. Tanya Bunda lirih.
    “Gak apa-apa Bun, aku emang pingin pulang sendiri”. Jawabku singkat.
    Tiba-tiba Bunda memegang tanganku dengan sangat erat, seperti orang yang sedang menahan sakit, aku mendengar Bunda meringis walaupun sangat pelan, aku menengok kearah ayahku, dan ayahku hanya mengusap kening Bunda dengan penuh kasih.
    “Aku buat teh dulu”. Kataku langsung menuju dapur.
    Adik kecilku yang bernama Dio mengikutiku di belakang, ketika kami sama-sama di dapur tiba-tiba Dio bilang bahwa beberapa saat sebelum aku pulang Bunda tiba-tiba pingsan. Aku kaget bukan main, air mataku langsung meleleh mendengar cerita Dio bahwa sudah sebulan terakhir ini Bunda sakit. Bunda hanya bisa terbaring di tempat tidurnya. Aku marah kenapa tidak ada yang bercerita. Dio bilang, Bunda melarang yang lain memberitahuku karena Bunda takut itu akan mengganggu konsentrasi belajarku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan, seharusnya aku pulang lebih awal. Aku hanya bisa menangis, tak bisa ku bendung air mata yang kian meleleh ini.
                Aku kembali masuk ke kamar Bunda. Bunda sedang duduk ditempat tidurnya, dia menyuruhku untuk duduk disampingnya. Bunda tersenyum, sepertinya dia tahu aku baru menangis karena tiba-tiba dia mengusap pipiku dan berkata.
    “Kamu gak boleh jadi cengeng, Bunda baik-baik aja kok. Bunda tahu kamu marah karena tidak jujur soal kesehatan Bunda, Bunda cuma gak pengen kamu khawatir nak”. Ucap Bunda sambil memelukku.
    Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan tangisku yang kian pecah ketika Bunda semakin erat memelukku seperti enggan menyuruhku untuk pergi lagi.

    Dear Diary ...
    Malam ini, tak bisa ku bendung air mataku ketika ku dengar rintihanmu Bun ,
    Aku tau saat ini kau sedang tidak baik
    Teriris hatiku mendengarmu menangis menahan sakit tubuhmu yang telah renta
    Apa yang harus aku lakukan agar kau merasa baikan?
    Ketidak berdayaanku membuatku tak bisa berbuat banyak tuk hentikan tangismu
    Aku tau kau sangat lelah dengan hidupmu
    Aku tau kau lelah
    Bun, katakan padaku apa yang harus aku lakukan agar kau berhenti menangis
    Jika aku bisa, aku ingin Tuhan pindahkan sakit yang kau rasa kepadaku, biar aku yang rasakan, setidaknya aku berguna untukmu, dan setidaknya aku tahu aku lebih kuat untuk merasakan itu
    Bun, maafkan aku karena selama ini telah menjadi beban untukmu
    Janjiku untuk membawamu ke kehidupan yang lebih baik sedang ku rajut
    Bersabarlah…
    Ku mohon bersabarlah Bunda hingga hari itu tiba ...
    Cepat sembuh ya Bun, kembalilah tersenyum seperti sedia kala ...
    Love you Mom

        Jakarta 3 Agustus 2011
    JJJ

0 komentar:

Posting Komentar